Sebanyak 35 keluarga pengungsi yang sebelumnya tinggal di kamp akhirnya kembali ke kampung halaman mereka di Taybet Imam, wilayah utara Hama. Kepulangan ini berlangsung dalam sebuah konvoi yang terorganisasi, menandai gelombang kedua kembalinya warga ke kota yang sempat ditinggalkan akibat perang.
Kepulangan bersama-sama yang dikoordinasikan oleh lembaga lokal dan mitra kemanusiaan memberikan kelebihan tersendiri. Salah satunya adalah kepastian bahwa infrastruktur dasar di Taybet Imam sudah mulai pulih, minimal untuk memenuhi kebutuhan air, listrik, dan kebersihan. Hal ini menjadi penopang utama agar warga dapat langsung memulai kehidupan baru.
Selain dukungan fasilitas, kepulangan secara berkelompok menghadirkan rasa kebersamaan yang kuat. Para keluarga tidak kembali sendirian, tetapi bersama teman seperjuangan yang sama-sama mengalami pahitnya pengungsian. Solidaritas ini menjadi modal penting dalam menghadapi tantangan awal kehidupan di tanah asal.
Kebersamaan tersebut juga berarti saling membantu dalam hal praktis. Banyak rumah yang belum selesai diperbaiki, namun dengan adanya teman satu konvoi, keluarga yang pulang bisa mendapat tumpangan sementara sambil membenahi hunian mereka. Dukungan sesama ini mengurangi beban psikologis dan finansial.
Apabila sebagian keluarga terpaksa kembali lagi ke pengungsian karena rumah belum siap atau kondisi tidak memungkinkan, keberadaan rombongan juga membuat mereka tidak merasa sepi. Mereka tetap ditemani pengungsi lain yang bernasib sama, sehingga rasa terisolasi dapat diminimalisir.
Taybet Imam, yang sempat menjadi salah satu titik panas konflik di utara Hama, kini perlahan bangkit kembali. Dengan perbaikan infrastruktur dasar, kembalinya warga diharapkan dapat menghidupkan kembali denyut ekonomi lokal yang lama terhenti akibat perang.
Bagi anak-anak, kepulangan ini adalah kesempatan untuk kembali bersekolah di tanah kelahiran. Keluarga yang pulang berharap adanya fasilitasi pendidikan bisa segera dipenuhi agar generasi muda tidak kehilangan masa depan.
Para orang tua menyebut bahwa pulang bersama konvoi memberi rasa aman. Mereka tidak menghadapi perjalanan panjang sendirian, melainkan dalam rombongan yang dijaga dan dipantau oleh pihak berwenang. Faktor keamanan ini sangat berarti setelah bertahun-tahun hidup dalam ketidakpastian.
Kembali ke kampung halaman juga berarti kembali ke ladang dan tanah pertanian. Sebagian keluarga bertekad untuk kembali bercocok tanam sebagai sumber penghidupan utama. Dengan infrastruktur dasar yang sudah diperbaiki, mereka optimis hasil panen bisa menopang kehidupan.
Konvoi kepulangan yang kedua ini menandakan bahwa semakin banyak keluarga berani mengambil keputusan kembali. Keberhasilan gelombang pertama yang lebih dulu pulang memberi inspirasi bagi keluarga lain untuk ikut serta.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Kondisi rumah yang hancur, keterbatasan layanan kesehatan, dan ancaman keamanan dari sisa-sisa konflik masih menghantui. Namun, dengan dukungan bersama, tantangan itu dihadapi lebih ringan.
Koordinasi dengan baladiyah atau pemerintah lokal sangat penting dalam proses ini. Pemerintah memastikan bahwa sarana umum seperti sumur air, jaringan listrik, dan pengangkutan sampah bisa berfungsi agar warga tidak merasa ditinggalkan.
LSM kemanusiaan juga berperan dalam memfasilitasi kebutuhan dasar. Mereka menyediakan logistik awal bagi keluarga yang baru kembali, mulai dari makanan hingga perlengkapan kebersihan rumah. Hal ini membantu transisi warga agar lebih lancar.
Warga yang pulang menilai bahwa kepulangan bersama lebih efektif dibanding kembali secara individu. Dengan sistem konvoi, mereka bisa saling menjaga, saling membantu, dan membangun kembali komunitas dengan lebih cepat.
Taybet Imam pun perlahan menjadi simbol pemulihan. Dari kota yang dulu sepi dan porak-poranda, kini suara anak-anak dan aktivitas pasar mulai terdengar kembali berkat kedatangan keluarga-keluarga yang pulang.
Bagi keluarga yang masih ragu untuk pulang, kisah keberhasilan rombongan kedua ini bisa menjadi dorongan. Mereka melihat bukti nyata bahwa kembali ke kampung halaman bukan sekadar mimpi, tetapi sebuah kemungkinan yang nyata.
Keberadaan tetangga lama dan teman seperjuangan memberi rasa nyaman. Para pengungsi merasa kembali menjadi bagian dari komunitas, bukan hanya sekadar individu yang berjuang sendiri.
Harapan besar kini melekat pada kepulangan ini. Jika konvoi berikutnya terus berjalan dengan baik, jumlah warga yang kembali bisa bertambah signifikan dan mempercepat proses pemulihan kawasan utara Hama.
Kisah 35 keluarga ini menjadi gambaran bahwa pulang bersama-sama bukan hanya langkah logistik, melainkan juga langkah kemanusiaan. Ia menghidupkan kembali rasa solidaritas, kebersamaan, dan kepercayaan bahwa kehidupan baru bisa dibangun di atas reruntuhan lama.
Dengan semangat itu, Taybet Imam bergerak dari bayang-bayang konflik menuju harapan baru. Konvoi kepulangan menjadi tanda bahwa perjalanan panjang pengungsi Suriah menuju rumah akhirnya menemukan cahaya di ujung jalan.
0 Comments